Pemateri Pelatihan

Pelatihan Manajemen Surveilans yang dilaksanakan oleh Pengurus Daerah IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia)/Public Health Association of Indonesia Prov. Sulawesi Tenggara Republik Indonesia (11 Mei 2013)

Peresmian Gedung Baru FKM UHO

Bersama Rektor Universitas Halu Oleo Kendari “Prof. DR. Ir. H. Usman Rianse, MS”, dalam peresmian gedung baru Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo.

IAKMI : Bakti Sosial Korban Banjir

Tim bantuan sosial Pengurus Daerah IAKMI Prov. Sulawesi Tenggara, memberikan bantuan kepada korban banjir di Kecamatan Kapoaila Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara Republik Indonesia

Bersama Istri Tercinta

Dalam suasana lebaran idul adha 2013 bersama Istri “Devi Savitri Effendy”

My Lovely Son and His Sister

Belajar menyukai gitar di usia dini berdua bersaudara “Barakh Alfath Tosepu" dan "Sansiviera Kesha Qalbi Tosepu”

Senin, Januari 06, 2014

Model Pengembangan Kesehatan Lingkungan Kawasan Pesisir (Ramadhan Tosepu)

Model Pengembangan Kesehatan Lingkungan Kawasan Pesisir
oleh R.Tosepu, 2011.

Minggu, Januari 05, 2014

Demokrat Di Pusaran Kondom

Akhir-akhir ini berbagai media mewartakan kebijakan menteri kesehatan dr. Andi Nafsiah Walinono Mboi, Sp.A,M.P.H terhadap Pekan Kondom Nasional (PKN). Program Ini adalah refleksi dalam rangka untuk memperingati hari AIDS sedunia yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Desember. Berbagai tanggapan bermunculan, tetapi jika diakumulasikan taggapan tersebut, hampir semuanya mengatakan kebijakan itu tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang di dominasi oleh penduduk beragama muslim. Alasan ibu menkes sangat sederhana bahwa penularan HIV dan AIDS bisa dicegah dengan menggunakan kondom.

Di salah acara TV Swasta ibu Menkes mengatakan bahwa, kebijakan tersebut diambil berdasarkan pengalamannya saat menjadi ibu gubernur NTT, yang mana di salah satu tempat di NTT terdapat pusat prostitusi yang selalu di datangi oleh para pesiar kapal. Oleh karena masyarakat resah maka datanglah perwakilan masyarakat mengahadap ke ibu gubernur, singkatnya tempat prostitusi tersebut ditutup. Tetapi hal itu tidak menyelesaikan masalah, justru munculah masalah baru, yakni para pesiar tersebut telah terbiasa dengan daerah itu, tiba-tiba mereka datang dengan bayangan akan mendapatkan perempuan, ternyata yang mereka dapatkan daerah itu telah bersih dari prostitusi, spontan para pesiar yang telah lama berada dilaut, masuk kerumah-rumah warga dan memperkosa para wanita-wanita yang berada di dalam rumah, bahkan anak-anak pun tak lolos dari kejadian tersebut. Setelah itu, mereka pergi meninggalkan daerah itu, dengan meningalkan sedih pada masyarakat daerah tersebut. Kisah inilah yang dianggap ibu menkes sebagai tragedi yang memilukan dan tidak beradab, sehingga untuk mereka-mereka yang memiliki kebiasaan ke tempat hiburan sebaiknya disiapkan tempatnya dan diberi kondom, ujarnya.

Tentunya, pembaca akan memiliki pendapat yang berbeda terhadap pandangan yang dikemukan ibu menkes tersebut. Ini sangat wajar, menginggat cara pandang yang berbeda akan memberikan persepsi yang berbeda, tetapi dalam bermasyarakat “umumnya” pandangan mayoritas itulah yang terbaik. Asumsi lain yang dikemukakan ibu menkes bahwa Kondom dapat mencegah HIV, tetapi dari berbagai penelitian hal itu tidaklah cukup alasan sebagai dasar pengetahuan. Kondom terbuat dari bahan latex, sehingga berserat dan berpori. Kalau tidak berserat dan berpori itu terbuat dari plastik. Ukuran pori-porinya 1/60 mikron, sangat kecil. Ukuran virus dibandingkan dengan sperma 1/450 kali lipat. (Dadang Hawari,2013). Sehingga jika ini yang dijadikan alasan ibu menkes sangatlah lemah asumsinya. Pertanyaannya kenapa itu tetap dilakukan?

PKN berlangsung selama tujuh hari dari tanggal 1–7 desember 2013, dengan tujuan utama pembagian kondom secara gratis. Tanggal 1 desember yang lalu sebuah mobil bus masuk di kampus Universitas Gadjah Mada untuk membagi-bagikan kondom kepada mahasiswa. Dana yang digunakan dalam progam tersebut tidak tangung-tangung menghabiskan sekitar 25 Milliar (Ketua KAMMI, Manado). Uang sebanyak itu jika digunakan untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada anak-anak Indonesia akan sangat bermanfaat dan berguna.

Program ini merupakan program instan, yang tidak menyelsaikan persoalan bangsa secara komprehensif. Cara-cara seperti ini tidak lain hanyalah proyek yang mubazir, coba bayangkan sampai kapan masyarakat akan diberi kondom secara gratis. Ataukah jangan-jangan ini memberikan ketergantungan masyarakat terhadap kondom, jika ini terjadi maka yang untung adalah produsen kondom. Parahnya anak-anak bangsa ini yang masih polos justru akan semakin tertarik untuk menggunakan kondom, yang akhirnya pergaulan bebas akan semakin marak.

Menggunakan dana miliaran rupiah untuk program semacam ini sangatlah tidak efektif, di Amerika 1/3 dari jumlah kondom yang beredar di pasar, bocor. Penelitian dari Badan POM Amerika tahun 2005 menyebutkan kondom tidak lagi dikampanyekan karena mulai gagal. (Dadang Hawari, 2013). Sehingga program seperti ini hanyalah akan menghabiskan uang rakyat yang dibayar melalui pajak.

Pendidikan kesehatan masyarakat merupakan langkah strategis untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, yang tentunya akan melibatkan seluruh elemen bangsa ini. Kesehatan masyarakat bukanlah taggung jawab dari tenaga kesehatan, tetapi seluruh elemen masyarakat harus mengambil bagian dari peran tersebut. Disadari, pendidikan kesehatan membutuhkan waktu yang sangat lama, tidak seperti orang habis bekerja langsung dapat upah. Untuk hal ini dibutuhkan program yang menyeluruh dan tentunya dukungan dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Diangkatnya ibu dr. Andi Nafsiah Walinono Mboi, Sp.A,M.P.H menjadi menteri kesehatan yang menggantikan ibu dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR.PH. Merupakan menteri yang berasal dari kalangan professional yang berumur 73 tahun. Meskipun dari kalangan professional tetapi dalam pengangkatan sebagai menteri tidak lepas dari kendali partai penguasa, yakni partai demokrat. Sehingga kebijakan program PKN merupakan program pemerintah yang tidak lain dan tidak bukan di bawah kendali partai demokrat. Terlebih, tahun 2014 semakin dekat yang oleh sebagian orang mengatakan bahwa tahun tersebut adalah tahun politik. Bisa dibayangkan, jika program ini tidak bisa dikendalikan dengan baik, masyarakat akan semakin gerah dengan partai demokrat yang akhirnya semakin membuat partai ini terpuruk. Sehingga, akankah partai demokrat keluar dari pusaran kondom? Entahlah…

Rabu, Januari 25, 2012

Program Zero Demam Berdarah Dengue (DBD)

Beberapa hari terakhir ini harian kendari pos mewartakan adanya kasus demam berdarah dengue (DBD) dikota kendari. Berita ini bukan saja tahun ini diwartakan, namun telah menjadi tradisi bahwa satiap tahun di kota kendari akan ada kasus DBD, tapi sampai kapan berita seperti ini akan berhenti diwartakan? Upaya apa yang dilakukan pemerintah untuk hal ini? Ternyata penyelesaian DBD hanyalah semacam acara Mario Teguh Golden Ways yang dibawakan oleh salah satu TV Swasta Nasional, enak kedengarannya namun setelah beberapa hari semua akan hilang pesan tersebut. Kenapa ? karena yang disentuh adalah fikiran bukan hati. Sebanyak apapun yang disampaikan kalau hati tidak disentuh hasilnya akan sia-sia. Sebaliknya, kalau fikiran yang disentuh maka kesenangan akan dirasa dengan baik tapi semua itu hanya semu. Itulah gambaran penanganan kasus DBD yang dilakukan pemerintah yang hanya bertindak ketika masyarakat mengalami sakit.

Paradigma sakit masih mendominasi

Penulis sangat yakin ketika terjadi peralihan musim seperti ini dari musim kemarau ke musim penghujan, tenaga kesehatan sudah mulai risih dan galau. Karena kondisi inilah kasus DBD akan terjadi. Dan hal semacam ini telah menjadi rumus umum dibidang kesehatan. Tapi justru kasus DBD selalu muncul dimasyarakat. Fenomena seperti ini sangat aneh, terlebih khususnya di Kota Kendari yang saat ini mencanangkan Kota Sehat, namun pola fikir pengambil kebijakan di Dinas Kesehatan Provinsi Maupun Kabapuaten dan Kota masih menganut system berfikir sakit, yang berarti pelayanan kesehatan bagi masyarakat sakit. Lihatlah contohnya, katika kasus seperti ini terjadi, dinas kesehatan khususnya rumah sakit telah sibuk mempersiapkan ruangan dan tempat tidur bagi penderita DBD, padahal belum ada kasus. Berapa biaya untuk hal tersebut. Kenapa tidak berfikir cara apa yang harus dilakukan agar masyarakat tidak jatuh sakit karena DBD. Seharusnya pemerintah mencanangkan program “Zero DBD”. Dimana-mana pemerintah kabupaten/kota telah meraih Adipura, tapi seiring dengan hal tersebut DBD juga kerap kali terjadi. Harusnya ketika Adipura diraih penyakit seperti ini tidak akan pernah muncul, DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan. Sekali lagi program pembangunan seperti ini yang harus disentuh adalah Hati masyarakat bukan fikiran yang semu.

Berbasis program, bukan hasil

Pelayanan kesehatan yang dilakukan tidak mengarah pada hasil tetapi mengarah pada capaian program, inilah yang menjadi masalah terbesar dalam pembangunan kesehatan. Jika mengutamakan capaian program. Pembangunan kesehatan bukan saja pada pembangunan fisik semata akan tetapi yang paling utama adalah pembangunan semuberdaya manusia masyarakat. Inilah yang membedakan instansi kesehatan dengan instansi lainnya. Sehingga metode pelayanan kesehatan haruslah mengarah pada hal tersebut. Era orde lama, orde baru, dan reformasi telah berlalu dan sementara dijalani, namun rasa-rasanya pembangunan kesehatan terus mengalami perubahan. Model pembangunan berbasi hasil bukan menjadi prioritas. Reformasi kesehatan yang ditempuh hanya sebatas program. Jika demikian adanya, apakah program tidak dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan, tentunya tidak demikian. Yang mesti dirubah adalah model daan pendekatan dalam pelayanan kesehatan harus berbasis hasil. Memang tidak mudah untuk diterapkan karena ini berkaitan dengan kebijakan dan aturan birokrasi pemerintahan, namun ini harus dilakukan.

DPRD fokus pada pembangunan fisik

Salah satu penyebab dari meningkatnya kasus DBD adalah pola fikir wakil rakyat, yang mengedepankan pembangunan fisik. Dalam draf usulan program dinas kesehatan tidak pernah memperhatikan pembangunan non fisik, seperti pembangunan sumberdaya manusia masyarakat. Karena banyak wakil rakyat yang belum paham kesehatan tidak bisa hanya diselesaikan dengan membangun rumah sakit, puskesmas yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang canggih. Hal semacam ini hanya dapat menyelesaikan masalah penyakit menular, yang semakin lama kasusnya semakin menurun. Ini dikenal dengan Transisi Epidemiologi, yakni peralihan penyakit dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Pada transisi epidemilogi saat ini, perhatian penyakit tidak menular harus menjadi prioritas dalam pembangunan kesehatan. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan meningkatkan sumberdaya masyarakat, singkatnya pembanguna non fisik harus menjadi perhatian bagi wakil rakyat, khususnya dalam pembahasan anggaran prioritas semacam ini dapat menjadi acuan bahwa membangun bangsa dan negara harus dibangun dengan kekuatan masyararakat. Tentunya, bagi wakil rakyat mengawasi pembangunan semacam ini membutuhkan fikiran dan tenaga yang ekstra. Bentuk pengawasan pembangunan akan menggunakan tiga pendekatan yakni : pendekatan pada pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan, masyarakat selaku obyek dalam program kesehatan, dan pengawasan capaian hasil.

Tentunya, pembangunan kesehatan tidak bisa dihentikan jutru ini akan menjadi kerja keras bagi staekholders, wakil rakyat, dan masyarakat. Pendekatan DBD tidak lagi harus berbasis program, yang sangat dibutuhkan berupa pendekatan “Sentuh hati masyarakat”. Perubahan diri masyarakat terhadap hidup sehat harus muncul dari hati masyarakat, tekanan dan program hanyalah akan menyentuh fikiran masyarakat, hasilnya akan sia-sia. Buktinya, lihatlah pembangunan kesehatan yang dewasa ini diterapkan. Data-data kesehatan yang dimunculkan sangat luar biasa baiknya, namun coba anda kemasyarakat, anda akan melihat data yang sesunguhnya. Untunghlah harian kendari pos selalu mewartakan kasus DBD.

Pendekatan kesehatan masyarakat haruslah fokus dalam pembangunan kesehatan, terlebih dengan adanya difinisi baru kesmas yang di godok oleh program Health Professional Education Quality (HPEQ), yang mengatakan kesmas adalah “Kombinasi dari ilmu pengetahuan, ketrampilan, moral dan etika, yang diarahkan pada upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan semua orang, memperpanjang hidup melalui tindakan kolektif, atau tindakan sosial, untuk mencegah penyakit dan memenuhi kebutuhan menyeluruh dalam kesehatan, dengan menggunakan strategi pemberdayaan masyarakat untuk hidup sehat secara mandiri”. Intinya peran serta masyarakat menjadi fokus utama dalam pembangunan kesehatan, seperti dalam pemberantasan penyakit DBD. Paradigma sakit dalam pembangunan kesehatan harus dihapuskan, penegakan paradigma sehat harus dimulai dari pemerintah dan wakil rakyat, yang tentunya jika ini telah menjadi paradigma pembangunan kesehatan, Program Zero Demam Berdarah Dengue akan menjadi program unggulan dalam pembangunan kesehatan. Dampak turunan akan diraih, seperti : adipura dan kota sehat. Karena penyakit DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan. Semoga hal tersebut dapat terjadi “Harapan itu masih ada, walaupun hanya sekecil buih di lautan”